Karya : Alfi Laili Menjadi seorang santri adalah suatu pilihan bagi tiap orang, kebingungan kini menghantui seorang pemuda lulusan...
Karya : Alfi Laili
Menjadi seorang santri adalah suatu pilihan bagi tiap orang, kebingungan
kini menghantui seorang pemuda lulusan MTsN dengan kepribadian sopan, penurut, rapi, tetapi
dia seorang yang penakut, pemalu, namun di balik semua itu dia mempunyai otak
yang cerdas. Sebut saja ia Bagus Qoyyum
Mahbub, dia ditawari untuk melanjutkan sekolah
sambil mondok oleh kedua orang tuanya, setiap hari dia selalu terbayang
akan kehidupanya apabila ia mengiyakan tawaran itu. Dia akan menginjakkan kaki
ke sebuah tempat yang belum pernah ia
kenal, tempat dimana kata orang-orang penuh aturan, hukuman, serba antri, jadwal
ngaji yang sangat penuh dan membosankan, apalagi jauh dari keluarga. Dengan berpikir
secara matang-matang diapun mengiyakan tawaran itu. Dia sudah tau apa resikonya
tetapi ia tidak memikirkan hal itu lagi, dia hanya ingin membuktikan bahwa dia
adalah anak yang berani, dan mandiri dia juga ingin menjadi anak yang sholeh
seperti keinginan orang tuanya walaupun sebenarnya apa yang ia lakukan itu
berbanding terbalik dengan apa yang ada di hatinya.
Rabu, 06 juli
2017 pada hari itulah kehidupan barunya
di mulai, Bagus diantar oleh bapaknya ke
sebuah pondok pesantren yang cukup popular tidak asing ditelinga namanya adalah Pon.Pes Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo,
Kediri. Sebuah pesantren modern khusus laki-laki yang sudah banyak santrinya,
sesampainya disana, dia dan bapaknya sowan
kepada pak kiai, setelah itu bapak Bagus pun menitipkan dia ke seorang pengurus
pesantren tersebut lalu Bagus pun berpamitan, dan mencium tangan bapak seraya
berkata “doakan saya bapak supaya betah di sini dan memperoleh ilmu yang
bermanfaat dunia dan akhirat, salam buat ibu semoga bapak dan ibu selalu di
beri kesehatan dan dilancarkan rezekinya “bapak menjawab “amin….Gus kamu
hati-hati ya disini patuhi apa kata pak kiai dan ingat pesan bapak “ kebaikan
itu tidak harus di lihat orang “ bagus mengangguk. Dan sang bapak beranjak pulang meninggalkan Bagus
selangkah demi selangkah Bagus memperhatikan sang bapak sampai bayangan bapak pun
tidak terlihat. Dan mulai detik ini Bagus harus bisa menyesuaikan dirinya karena keadaan, suasana telah berbeda, dulu
yang tidak ada kata ANTRI kini bagus
harus menjalani hidup yang semuanya serba antri, dari makan, minum, mandi, dan
kegiatan lain di pesantren. Ternyata apa yang dia takutkan benar-benar terjadi dia sendiri tidak mempunyai teman, tidak mengerti harus
apa dan bagaimana, tetapi ia ingat dengan kedua orang tuanya terutama bapaknya
yang sehari - hari banting tulang untuk menyekolahkannya, memang Bagus berangkat dari golongan orang
yang tidak mampu tapi dia mempunyai cita-cita yang sangat besar, jadi ia tidak
boleh mengecewakan bapaknya.
Hingga suatu
malam ketika dia duduk sendirian di
depan kamarnya hanya suara jangkrik yang bersahut-sahutan yang menemaninya, sampai
akhirnya ia dihampiri oleh seseorang yang berperawakan sedang, sopan, rapi, lucunya
ia terkenal dengan santri yang suka tidur sampai ngaji sama pak kiai pun dia
tidur, tak lain dia adalah teman sekolahnya nama pemuda itu ialah
Muhammad Iqbal dan keduanya saling
bercakap-cakap “woi…. Kok sendirian ayo ikut kumpul bareng santriwan lain”. Bagus
hanya membalas dengan senyuman saja, tangan Iqbal langsung menyeret tangan Bagus
dan akhirnya Bagus bercampur baur dengan santriwan lain dan memberanikan
diri ikut ngobrol dengan mereka, lama
kelamaan Bagus sadar bahwa pesantren itu tak seperti yang ia bayangkan ataupun seperti yang di
katakan orang- orang, menurut Bagus, pesantren adalah tempat yang menyenangkan,
bisa mengenal arti kebersamaan yang sebenarnya, mengerti arti sabar dan juga memahami
apa yang namanya ta’dzim dengan kiai, dan tak di sadari, Bagus sekolah, mengaji
dan mengikuti kegiatan dipesantren telah
menginjak tiga bulan di pesantren tersebut.
Fajar
menyingsing, terdengar suara adzan berkumandang dimana-mana termasuk di
pesantren Bagus tapi tak ada santriwan yang bangun kecuali hanya satu santriwan
yang bangun dia adalah santri kesayangan kiai, namanya adalah Fahmi Al Hafidz .
ketika pak kiai sudah rawuh ke masjid
beliau tidak melihat satupun santriwan, maka pak kiai pun ngobra’i ke asrama dengan membawa senter ,dari jarak 3 meter suara
pak kiai mengglegar melihat itu Fahmi reflek berlari menelusuri jejeran kamar
sambil berteriak “woi……..bangun …bangun… pak kiai..pak kiai….” Bagus dan
santriwan lain tersentak kaget dan
langsung menuju ke kamar mandi untuk wudhu tapi Bagus terlambat bangun ia
terkena sebetan sorban kiai “brakkk……!. Sorban pak kiai mengenai punggung Bagus.
Subuh telah usai kami semua ngaji
bersama dengan pak kiai dan lagi -lagi yang di suruh baca pertama kali adalah
santri kesayangan pak kiai, di tengah heningnya santriwan yang sedang mendengarkan Fahmi membaca kitab tiba-tiba terdengar suara mendengkur dari
belakang ternyata yang mendengkur adalah Iqbal, pak kiai langsung menegur Iqbal
dan Iqbal pun gelagapan serentak, Bagus
dan santriwan lain tertawa terbahak-bahak melihat kejadian tersebut.Seperti
biasa di sela ngaji kami pasti pak kiai
memberi motivasi kepada santrinya salah satunya ialah’’santriku harus berani,
jangan patah semangat untuk menuntut ilmu, dan kebaikan seorang santriku tidak
hanya aku lihat ketika ia berada di pondok pesantren melainkan setelah ia
menjadi alumni kamu tinggal buktikan hari ini bahwa hari ini kamu adalah santri yang baik”. setelah mengaji
seperti biasa kami ro’an
bersama setelah itu Bagus melihat Iqbal
melamun di tengah hiruk pikuknya pesantren
lalu Bagus pun melangkah pelan tapi pasti dan
mengagetkan Iqbal dari belakang “hei…! Ngelamun aja dari tadi mikirin
apaan sih pasti mikirin cewek ya….?”. Iqbal merespond pertanyaan bagus “enak
aja…”. Iqbal berhenti sejenak lalu meneruskan bicaranya “Gus kamu pernah nggak
mikir kalau kamu pengen jadi santri kesayangannya pak kiai seperti Fahmi pasti
enak ya kalau jadi seperti dia, dikenal seluruh santri, jadi kepercayaannya pak
kiai dan dipandang baik terus..!”. memang pernah terbesit dalam hati Bagus
ingin menjadi santri kesayangan pak kiai namun ia berfikir itu bukanlah tujuan
santri, kalau nyantri itu tujuannya
mencari ridho Allah dengan cara ta’dzim kiai taati peraturan pesantren bukan
berlomba-lomba untuk menjadi santri kesayangan kiai kemudian bagus memegang pundak iqbal lalu berkata “ kalau
aku sih masih berpikir dua kali kamu ingat nggak dawuhnya pak kiai kalau santri itu di pandang kebaikannya kalau
udah jadi alumni bukan ketika dia berada di pesantren …” iqbal menjawab
“iya ya” kemudian Bagus
menasehati Iqbal “maka dari itu sekarang kamu buktikan kalau kamu itu santri
yang baik buktikan kalau nyantrimu itu
karena mencari ridho Allah bukan karena ingin di pandang baik sama kiai”. lalu Iqbal
beranjak pergi meninggalakan Bagus tapi sebelum itu Iqbal mengucapkan terima
kasih pada Bagus “makasih ya gus nasehatnya”. Bagus menjawab “sama-sama”. Kini Bagus
sendirian melihat suasana pesantren mulai dari masjid, ndalemnya pak kiai, deretan kamar yang bersih rapi yang di hiasi
dengan lalu lalangnya santriwan namun pandangan itu pudar, tiba-tiba dia ingat
pesan bapaknya, “Gus kebaikan itu nggak harus di lihat orang” dia binggung akan
pesan bapaknya itu, Bagus sejenak berpikir lalu bergumam dalam hati “kenapa aq nggak ta’dzim sama kiai tapi
bagaimana, aku pribadi yang tidak seperti Fahmi yang terkenal dengan santri pintar, berprestasi,
juga kesayangan kiai, bukan seperti Iqbal yang ngehits gara-gara sifatnya yang aneh itu tak mengenal tempat dan
waktu dalam tidur, jadi aku nggak mau di
nilai baik sama pak kiai atas perubahan yang aku lakukan karena aku sudah di
kenal sebagai pribadi yang berciri khas begini jadi biarkanlah kiaiku dan
teman-temanku mengenalku seperti ini, apa yang harus aku lakukan …!.
Ketika hari
menjelang senja pak kiai kedatangan tamu lalu Bagus berkata dalam hati, “
kenapa aq nggak menata sandal tamu pak kiai saja !”. Tanpa pikir panjang aku
menata sandal tamu pak kiai ketika pak kiai dan tamunya sedang makan karena pak
kiai mempunyai kebiasaan mengajak tamunya makan siapapun dia. Kemudian Bagus
cepat –cepat pergi dan Bagus mengistiqomahkan perbuatan itu sampai dia menjadi
alumni pondok pesantren Hidayatul Mubtadi’in tersebut .
Kemudian bagus
memberanikan diri melanjutkan
pedidikannya ke sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta, selang beberapa tahun Bagus
lulus, kemudian ia pun terjun untuk bekerja, sekarang ia menjadi seorang
arsitek yang terkenal, suatu hari ia mempunyai proyek terbesar untuk yang pertama kalinya. ketika dia sedang merancang bangunan
yang akan menjadi proyek, dia melihat seseorang berjubah putih, bersorban hijau,
dan bersongkok putih tidak lain itu adalah kiainya yang sedang berbincang-bincang
dengan atasanya .Bagus menghampiri sang kiai dan mengucapkan salam,
“assalamualaikum pak kiai”, kemudian
dia mencium tangan pak kiai sambil
menangis, pak kiai pun menjawab salam Bagus, “ waalaikum salam siapa ya ini”. Bagus
menjawab “ini saya pak kiai Bagus
santrinya njenengan yang pemalu itu lo pak kiai”. pak kiaipun mengusap kepala
bagus sambil berkata, “oalah kamu to Gus disini kamu kerja apa…?” Bagus
menjawab pertanyaan pak kiai, “jadi arsitek pak kiai”. pak kiai meneruskan
bicaranya, “hebat kamu gus”. bagus membalas dengan senyuman dan berbicara,
“saya itu selalu ingat ngendikane
njenengan pak kiai, kalau santri itu harus berani jangan patah semangat dalam
mencari ilmu, sebenarnya saya itu kalau njenengan ada tamu sandalnya saya rapikan tapi itu saya lakukan ketika pak kiai dan tamu pak kiai sedang makan,saya nggak mau pak kiai menilai
saya baik di pesantren soalnya saya nggak tahu pak kiai saya keluar dari
pesantren Allah menjadikan saya apa, belum tentu saya di pesantren baik diluar
pesantren saya juga menjadi orang yang baik ,saya ta’dzim sama kiai bukan
karena ingin di pandang baik tapi saya ikhlas hanya untuk mencari ridho Allah. kemudian
pak kiai menepuk pundak bagus sambil berkata “oalah jadi kamu to, hebat kamu Gus aku bangga punya
santri sepertimu”. Bagus membalas dengan senyuman dan berkata, “ terima kasih pak kiai ini juga karena
barokahnya panjenengan” Kemudian
bagus berpamitan dengan kiainya dan kembali ke pekerjaannya, seketika itu Bagus
teringat akan nadharnya apabila ia
mempunyai banyak uang ia akan menyumbang untuk pesantrennya, setelah itu Bagus dihampiri pekerjaan dari kota satu ke kota
lain di sertai dengan sikapnya yang rajin menggambar dia dihampiri job yang sangat banyak
karena rancangan bangunan yang menarik banyak orang dan terkenal sampai
mancanegara hingga ia di sebut-sebut sebagai arsitek muda yang mendunia.Memang
benar adanya barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat allah akan
menambah keuntungannya di dunia.
Dari cerita
tersebut kita bisa mengambil hikmah bahwa ta’dzimnya santri di pesantren jangan
hanya ingin di pandang kiai sebagai
santri yang terbaik tapi ta’dzimnya
seorang santri itu harus niat hanya untuk mencari ridho allah semata.dan
kebaikan itu tidak harus dilihat orang,tetap semangat mencari ilmu ingat bahwa
sikapmu hari ini menentukan nasibmu di masa depan.
Terima
kasih telah membaca!!!
COMMENTS